Poligami?? Pandai-pandailah Mengukur Diri !

Posted: April 9, 2013 in Uncategorized

Saya terharu membaca tulisan ukhty Rusmini Bintis yang di posting di website www.pkspiyungan.org tentang poligami. Dan lebih salut lagi dengan kesiapannya untuk bersedia dipoligami. Tapi ada sudut pandang berbeda antara saya dengannya dalam hal poligami, dari tulisannya saya menangkap poligami menjadi sarana paling mumpuni untuk menyelamatkan nasib para akhwat yang belum menikah pada umur yang tak lagi muda.

Tidak ada yang salah dengan poligami. Al qur`an pun juga mengatakan nikahilah satu, dua, tiga atau empat wanita, jika tidak sanggup berlaku adil maka lebih baik satu saja. Rasulullah dan para sahabat pun mencontohkan.

Namun semangat berapi-api untuk berpoligami tanpa disertai mengukur diri merupakan hal yang sangat sembrono. Ketika saya membaca tulisan ukhty Rusmini Bintis saya menangkap bagaimana kalau seandainya para kader diserukan untuk berpoligami, kemudian para kader pun menanggapinya dengan penuh semangat. Namun apa jadinya jikalau semangat tanpa disertai dengan mengukur diri?

Maju berpoligami tanpa mengukur diri merupakan kecerobohan yang menenggelamkan. Semangat berapi-api yang membabi buta tanpa pandangan jauh melihat ke depan dan kedalam adalah langkah kesalahan.

Poligami menjadi hal yang mulia ketika seorang suami mampu berlaku adil pada istri-istrinya. Wanita pun menjadi semakin mulia ketika dia ridho dengan suaminya. Tapi dengan beristri satu saja dan  beberapa anak yang sudah dipunya seorang suami belum mampu menafkahi keluarganya lahir batin secara  sempurna, bagaimana mau menambah sebuah tanggungjawab lagi. Menikah dengan satu istri saja masih terdengar riak-riak keretakan dalam rumah tangga, bagaimana mau menambah lagi hingga dua, tiga dan empat?

Untuk masalah poligami ini saya menyimpulkan tafadhol bersemangat untuk berpoligami namun jangan lupa untuk mengukur diri.

“Poligami sebagai cara ampuh untuk menyelamatkan para akhwat dari kefuturan karena belum mendapatkan jodoh”. Menurut saya ada yang perlu dievaluasi dalam hal ini. Poligami bukan satu-satunya cara efektif (ingat saya bukan menentang poligami lhoo…), saya ingin memberikan evaluasi dan solusi atas permasalahan “banyaknya akhwat yang belum menikah di usia tak lagi muda” yang menjadi landasan berapi-apinya semangat ukhty Rusmini untukmenyerukan semua orang  berpoligami 😀

Ketika saya masih kuliah dulu, seorang senior pernah berkata pada saya “persiapkan dirimu baik-baik dari sekarang dek, kamu harus menyiapkan diri untuk menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah, kenapa? Karena memang jumlah ikhwan dibandingkan akhwat sangatlah sedikit, perkuat dan siapkanlah diri dari sekarang”.

Saya sangat ingat pesan akhwat senior itu hingga sekarang. Dan saya pun yakin dari dulu beliau memang mempersiapkan diri untuk menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah. Bukankah sebaiknya kita harus  mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang lebih sulit? Namun takdir Allah berkata lain beliau berjodoh dengan laki-laki yang sudah tarbiyah, kader pentolan pula. Nah… Bekal kesiapan  itulah yang patut dicontoh.

Menurut saya, sedari awal seorang akhwat harus memperkuat kesiapan diri untuk menikah dengan bukan ikhwan (laki-laki yang sudah tarbiyah). Jangan mendoktrin diri harus menikah dengan ikhwan. Perkuatlah azzam dan keistiqomahan di jalan dakwah. Masalah jodoh sungguh Allah sudah mengaturnya. Intinya tingkatkan kapasitas diri terlebih dahulu. Bukankah laki-laki baik untuk wanita yang baik-baik pula?

Mempersiapkan diri untuk menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah bukan berarti ketika datang pinangan dari lelaki yang perokok,pejudi atau pemain wanita diterima begitu saja. Tidak! Bukan demikian maksud saya. Tetap poin-poin  pertimbangan memilih jodoh dalam islam yang menjadi acuan utama yaitu agama. Jadikan agama sebagai tolak ukur yang utama. Jika lelaki itu sholeh, sholat berjamaah ke mesjid, rajin tilawah, shaum, santun dan baik akhlaknya, jangan langsung ditolak hanya lantaran belum tarbiyah. Pertimbangkan laki-laki sholeh itu. Jika ternyata dia mengizinkan akhwat untuk tarbiyah dan berdakwah kemudian diapun juga mau ikut serta, bukankah ini rahmat bagi dakwah? Disinilah kesiapan akhwat diperlukan, kesiapan semangat dan keistiqomahan dalam berdakwah, kesiapan dalam pemahaman dakwah. Akhwat bisa menjadi mitra diskusi bagi suami kelak, ketika suaminya malas datang liqo` dan menyambut seruan dakwah akhwatlah yang menjadi pendorong semangatnya. Nah..! kalau akhwat saja sebelum menikah sudah loyo menyambut seruan dakwah, malas berdakwah, amal yaumi kocar kacir, bagaimana nanti bisa menjadi mitra yang sukses bagi suaminya yang notabene baru mengenal dakwah. Ujung-ujungnya akhwat yang tidak mempersiapkan diri malah mundur dari dakwah, dan ikut dalam rombongan tidak lagi peduli dan tidak mau berdakwah. Disinilah titik tekan pentingnya kesiapan seorang akhwat. Saya pun banyak mendengar kesuksesan seorang akhwat mendampingi suaminya yang baru tarbiyah setelah menikah, beberapa waktu kemudian malah pemahaman suaminya jauh melampaui dirinya dan menjadi garda terdepan dalam barisan dakwah pula.

Namun mengenai menikah beda harokah  saya tidak menganjurkannya.  Bagaimanapun perbedaan prinsip dan pemikiran yang sangat mencolok dapat menjadi salah satu pemicu keretakan dalam hidup berumah tangga.

Di sisi lain saya ingin mengevaluasi fenomena yang terjadi di kalangan ikhwan. Pemikiran bahwa ikhwan memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang belum tarbiyah dengan alasan untuk mendakwahinya dan mengajaknya menjadi prajurit dakwah, menurut saya alas an ini sering hanya sebagai alibi. Saya melihat banyaknya kecendrungan seorang ikhwan untuk menjadikan poin kecantikan sebagai poin utama dari empat poin kriteria pasangan yang disebutkan Rasulullah. Kebanyakan ikhwan yang menikah dengan perempuan yang belum tarbiyah sebelumnya, umumnya jatuh cinta dengan simbol-simbol fisik dan tak sedikit pula yang memang sebelum menikah telah menjalin hubungan khusus dengan perempuan tersebut. Ah… katanya mau mendakwahinya eh malah “memacari”nya.

 Saya tetap lebih menghargai ikhwan yang lebih memprioritaskan menikah dengan akhwat karena kecintaannya terhadap dakwah ini, karena keinginannya untuk menjaga dan melindungi para akhwat yang sudah tertarbiyah. Bukan dengan menambah istri lagi dengan alasan melindungi akhwat, #eh. Dan saya lebih menghargai lagi ikhwan yang tidak menomorsatukan symbol-simbol fisik sebagai  penilaian utama dalam memilih pasangan hidupnya. Tetap agamanya yang utama.

Oh ya satu lagi, jikalau para ikhwan sudah mengukur diri dan memikirkan matang-matang untuk menikah lagi dan merasa sanggup. Pilihlah akhwat yang umurnya sudah tiga puluh ke atas, yang memang kesempatan untuk mendapatkan pasangan hidup secara hitung-hitungan manusianya lebih kecil dibandingkan usia dua puluhan. Jangan malah memilih akhwat muda cantik rupa yang para ikhwan  jomblo pun mengincarnya. Kalau seperti ini namanya melindungi akhwat atau melampiaskan nafsu syahwat? Wallahualam.

 

-dr.Feni Dwi Lestari-

 

Leave a comment